California - Etika dan kekayaan tak selalu beriringan. Penelitian terbaru menemukan bahwa orang kaya cenderung berperilaku tidak etis.
Dalam serangkaian percobaan--yang melibatkan segala sesuatu mulai dari mengemudi berbahaya, berbohong dalam negosiasi pekerjaan, dan kecurangan untuk mendapatkan hadiah--peneliti menemukan orang kaya cenderung berperilaku buruk.
Dalam dua percobaan pertama, para psikolog University of California, Berkeley, memposisikan diri sebagai pengamat di persimpangan San Francisco. Mereka mengamati para sopir yang bersabar di lampu merah menunggu giliran dan bagaimana sikap mereka kepada pejalan kaki. Merek mobil dijadikan salah satu indikasi status sosial ekonomi pemakainya.
Jika Anda pernah berpikir orang yang mengendarai Mercy model terakhir lebih brengsek dari yang di belakang kemudi Honda butut, Anda benar. Bahkan setelah mengendalikan faktor seperti kepadatan lalu lintas dan jenis kelamin pengemudi serta usia (pria yang lebih muda cenderung untuk mengemudi lebih cepat dan sering kasar), si mobil mahal cenderung lebih arogan di jalan.
"Para pengemudi kendaraan mahal empat kali lebih mungkin untuk memotong kendaraan lain yang statusnya lebih rendah," kata Paul Piff, seorang mahasiswa doktoral di Berkeley dan penulis utama penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Pengemudi mobil mewah juga tiga kali lebih mungkin mengancam keselamatan pejalan kaki, yaitu dengan mengambil hak jalan di sebuah penyeberangan.
Dalam lima penelitian lebih lanjut di dalam ruangan, peserta melaporkan status sosial ekonomi mereka kemudian membaca deskripsi orang yang mencuri atau mendapatkan manfaat dari hal-hal yang sebenarnya bukan hak mereka. Ketika ditanya seberapa besar kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku yang sama, peserta terkaya dari 105 mahasiswa lebih mungkin mengakui mereka akan berbuat demikian, dibandingkan dengan mereka dari latar belakang kelas menengah atau kelas bawah.
Pada percobaan berikutnya, peneliti meminta 129 siswa untuk membandingkan diri dengan mereka yang jauh lebih kaya atau jauh lebih miskin dari mereka. Studi sebelumnya menemukan manipulasi ini mempengaruhi persepsi masyarakat kelas atas dan perilaku mereka sendiri.
Para peserta kemudian ditawari permen dan mereka diberi tahu seharusnya permen itu dapat diberikan kepada anak di laboratorium lain. Mereka yang merasa kaya mengambil permen lebih dari mereka yang merasa kurang beruntung.
Dua penelitian lain juga dilakukannya. Hasilnya membuktikan mereka yang kaya cenderung curang dan pelit.
Namun tak selamanya orang kaya pelit. Penelitian Piff yang lain menunjukkan orang kaya lebih mudah berperilaku murah hati, namun setelah mereka menonton tayangan tentang kemiskinan. "Kami tidak berpendapat bahwa orang kaya itu jahat sekali, tapi bahwa fitur psikologis kekayaan memiliki efek alami," katanya.
Dalam komentar untuk WebMD, profesor pendidikan Martin Ford dari George Mason University memuji studi Piff itu. "Sangat menarik ketika fenomena dasar yang sama ditunjukkan menggunakan berbagai metode eksperimental," katanya.
SUMBER
Dalam serangkaian percobaan--yang melibatkan segala sesuatu mulai dari mengemudi berbahaya, berbohong dalam negosiasi pekerjaan, dan kecurangan untuk mendapatkan hadiah--peneliti menemukan orang kaya cenderung berperilaku buruk.
Dalam dua percobaan pertama, para psikolog University of California, Berkeley, memposisikan diri sebagai pengamat di persimpangan San Francisco. Mereka mengamati para sopir yang bersabar di lampu merah menunggu giliran dan bagaimana sikap mereka kepada pejalan kaki. Merek mobil dijadikan salah satu indikasi status sosial ekonomi pemakainya.
Jika Anda pernah berpikir orang yang mengendarai Mercy model terakhir lebih brengsek dari yang di belakang kemudi Honda butut, Anda benar. Bahkan setelah mengendalikan faktor seperti kepadatan lalu lintas dan jenis kelamin pengemudi serta usia (pria yang lebih muda cenderung untuk mengemudi lebih cepat dan sering kasar), si mobil mahal cenderung lebih arogan di jalan.
"Para pengemudi kendaraan mahal empat kali lebih mungkin untuk memotong kendaraan lain yang statusnya lebih rendah," kata Paul Piff, seorang mahasiswa doktoral di Berkeley dan penulis utama penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Pengemudi mobil mewah juga tiga kali lebih mungkin mengancam keselamatan pejalan kaki, yaitu dengan mengambil hak jalan di sebuah penyeberangan.
Dalam lima penelitian lebih lanjut di dalam ruangan, peserta melaporkan status sosial ekonomi mereka kemudian membaca deskripsi orang yang mencuri atau mendapatkan manfaat dari hal-hal yang sebenarnya bukan hak mereka. Ketika ditanya seberapa besar kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku yang sama, peserta terkaya dari 105 mahasiswa lebih mungkin mengakui mereka akan berbuat demikian, dibandingkan dengan mereka dari latar belakang kelas menengah atau kelas bawah.
Pada percobaan berikutnya, peneliti meminta 129 siswa untuk membandingkan diri dengan mereka yang jauh lebih kaya atau jauh lebih miskin dari mereka. Studi sebelumnya menemukan manipulasi ini mempengaruhi persepsi masyarakat kelas atas dan perilaku mereka sendiri.
Para peserta kemudian ditawari permen dan mereka diberi tahu seharusnya permen itu dapat diberikan kepada anak di laboratorium lain. Mereka yang merasa kaya mengambil permen lebih dari mereka yang merasa kurang beruntung.
Dua penelitian lain juga dilakukannya. Hasilnya membuktikan mereka yang kaya cenderung curang dan pelit.
Namun tak selamanya orang kaya pelit. Penelitian Piff yang lain menunjukkan orang kaya lebih mudah berperilaku murah hati, namun setelah mereka menonton tayangan tentang kemiskinan. "Kami tidak berpendapat bahwa orang kaya itu jahat sekali, tapi bahwa fitur psikologis kekayaan memiliki efek alami," katanya.
Dalam komentar untuk WebMD, profesor pendidikan Martin Ford dari George Mason University memuji studi Piff itu. "Sangat menarik ketika fenomena dasar yang sama ditunjukkan menggunakan berbagai metode eksperimental," katanya.
SUMBER